REGULASI DAN KEBIJAKAN KOMUNIKASI “KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI BIDANG MEDIA CETAK II” (PROKLAMASI 1945 s.d 2020)

 

A. Pendahuluan 

Kebijakan komunikasi di dalam perkembangan pers dan pada media cetak selama masa proklamasi 1945 sampai 2020 ini tidak dapat terlepas dari banyaknya sejarah dan juga fenomena yang terjadi pada era ini. Pers lalu bisa diartikan sebagai media cetak (printing media) (Masduki, 2004:7). Di dalam konteks hubungan pers dan media ini maka pers merupakan bagian dari media secara luas, terlebih di era 1945 hingga 2020 yang sudah banyak sekali macam media baru yang meliputi media cetak hingga media elektronik. Sehingga melalui pembahasan ini , kami akan melihat kebijakan komunikasi pada bidang media cetak selama masa proklamasi hingga tahun 2020.

B. Masa Orde Lama

Pers di era setelah penyerahan kedaulatan Jepang pada 15 Agustus 1945 terjadilah pengambilalihan semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berupaya menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama yang pertama yang terbit di masa republik itu bernama Berita Indonesia yang waktu itu terbit pada 6 September 1945 di Jakarta. Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam tahun 1945-1958 dapat dikatakan masih sangat panas. pertikaian antara Belanda dan jepang belum sepenuhnya tuntas, ditambah pergolakan di beberapa tempat dengan pihak Belanda ataupun jepang yang belum menarik diri masih terjadi di era ini. Maka dari itu, sebagai upaya serangan balik terhadap propaganda anti Belanda yang dilancarkan oleh surat kabar-surat kabar republik, maka Belanda juga menerbitkan surat kabar pada waktu itu dengan bahasa Indonesia. Contoh nya Fadjar (Jakarta), Soeloeh Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat (Surabaya), serta Padjajaran dan Persatoen (Bandung). Pada masa ini sebagian besar surat kabar terbit dalam empat halaman, hal ini dikarenakan kurangnya pendanaan dan juga percetakan yang masih minim. 

Di tahun 1948 Indonesia telah menerbitkan 124 surat kabar dengan total tiras 405.000 eksemplar. Tetapi pada tahun 1949 jumlah surat kabar berkurang menjadi hanya 81 dengan tiras 283.000 eksemplar. Hal ini diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda Kedua yang terjadi pada Desember 1948. Jangkauan Tiras berubah dari 500 menjadi 5.000 eksemplar. Sepanjang periode ini, pers Indonesia semakin memperkuat semangat kebangsaan, juga mempertajam teknik berpolemik, dan mulai memperlihatkan peningkatan semangat partisan. Di era ini dunia internasional sudah mengakui Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat pada Desember 1949. 

Sementara itu kondisi pers Indonesia sesudah proklamasi dianggap jauh berbeda dibandingkan di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang jarang atau tidak terlalu suka membaca koran. Hal ini dikarenakan pada masa itu berita yang ada di koran berisi kepentingan penguasa. Sedangkan pada masa kemerdekaan koran menjadi primadona bagi masyarakat bahkan mereka hingga berebut untuk mendapatkan surat kabar. 

Sehari setelah beberapa media cetak koran mengabarkan berita mengenai pembacaan teks proklamasi hari-hari itulah yang menjadikan masyarakat dan juga khalayak memburu media cetak koran. Masyarakat terlihat tidak mau ketinggalan sesuatu dalam mengikuti berita mengenai perkembangan negaranya yang baru saja merdeka. Disini minat baca pun mulai semakin meningkat dan orang mulai sadar akan kebutuhan terhadap media massa terlebih media cetak. Suasana inilah yang tentunya akan berdampak positif bagi para pengelola media cetak pada masa itu. Usaha penerbitan koran pun mulai kembali, yang konon katanya diramaikan oleh irama gemerciknya suara alat cetak intertype atau mesin roneo. Di masa ini para kuli tinta juga kian sibuk untuk memburu berita. Maka dari itu, tahun 1946 atas inisiatif para wartawan telah dilangsungkan kongres di kota Solo untuk mempersatukan mereka. Hanya saja, pada tahun-tahu awal kemerdekaan, pers dan juga wartawan di Indonesia masih diliputi suasana penuh tantangan akibat yang berasal dari berlarut-larutnya revolusi dan masih manifesnya penjajahan untuk kembali ke Indonesia. 

Dapat dikatakan juga bahwa setelah kemerdekaan, semangat yang menjiwai perjuangan kemerdekaan mulai luntur dan juga ditambah dengan terjadinya persaingan keras antara kekuatan politik. Pers Indonesia juga ikut andil dalam arus ini terlihat karena adanya perubahan watak dari pers perjuangan menjadi pers partisipan. Di sini pers sekedar menjadi corong partai politik. Meskipun demikian, dapat dikatakan periode ini merupakan masa bahagia yang singkat untuk kebebasan pers, khususnya bagi wartawan politik. Inilah akhir periode kebebasan pers Indonesia dan awal rezim Orde Lama berkuasa. 

Soekarno sebagai founding Fathers sebenarnya  juga sudah menjamin kebebasan pers dalam pasal 28 UUD 1945. Pada waktu itu Amir Sjariffudin yang menjadi menteri penerangan menegaskan kembali  melalui maklumatnya  bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus bersendikan asas pers yang merdeka. Maka dari itu, kebijakan komunikasi dan penerangan yang dianut pemerintah dijanjikan seperti berikut: “Pikiran masyarakat umum (public opinions) itulah sendi dasar pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tak merdeka tidak mungkin menyatakan pikiran masyarakat, tetapi hanya pikiran beberapa orang saja yang berkuasa. Maka dari itu, asas kita ialah pers harus merdeka.” (Abar, A. Z. (1995). Pers di masa perjuangan waktu itu dianggap saling bahu-membahu mendukung pemerintah. tetapi setelah penjajah pergi dan pers mulai kritis terhadap pemerintah. Pada 28 Oktober 1956 ,Soekarno mengajukan untuk mengubah demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. 

Sepanjang periode demokrasi terpimpin dan diberlakukanya Undang-Undang Darurat Perang, pers disini mengalami era terpimpin. Soekarno memerintahkan agar pers setia kepada ideologi Nasakom serta memanfaatkanya untuk memobilisasi rakyat. Soekarno juga tidak ragu-ragu untuk melarang surat kabar yang menentangnya. Di bawah Soekarno surat kabar yang dikelola oleh kaum komunis tumbuh sangat pesat. Disini muncul perlawan antara kelompok surat kabar sayap kanan nasionalis, yang mengatasnamakan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Bila menempatkan pers sebagai mediasi dalam konteks dinamika hubungan negara dan juga masyarakat akan terdapat dua proposisi utama yang akan menempati dua kutub yang saling bertentangan dalam melihat isi dan orientasi pers (Abar, A. Z. (1995). 

 Konflik antar surat kabar sayap kanan dan juga kiri ini tidak terelakan. Ujung nya Soekarno tetap memilih kaum kiri dan surat kabar kaum kanan yang anti komunis dilarang terbit. Bisa dibilang bahwa masa Demokrasi Terpimpin ini, sebagai periode terburuk bagi pers di Indonesia. Soekarno cenderung lebih memperlakukan pers sebagai extension of power-nya. Disinilah juga banyak sekali berkuasanya pers komunis dan pers simpatisan. Sementara itu pers lainya yang berada dalam posisi kontra terhadap rezim soekarno, menolak Manipol dan pers liberal diasingkan atau menuai pembredelan. Namun pada tanggal 1 Oktober 1965 inilah seluruh pers yang dianggap sebagai simpatisan dari PKI dilarang untuk terbit untuk selama-lamanya oleh penguasa rezim baru saat itu yaitu di bawah Soeharto.

C. Masa Orde Baru

 Pers Indonesia selama ini adalah pers nasional yang memiliki komitmen nasionalis yang kuat meskipun sempat ditempa oleh kolonialisme Belanda dan Jepang, kemudian kembali kuat semenjak kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1945. Namun dengan terjadinya transisi pemerintahan setelah era Soekarno ke era Mayor Jendral

Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966, pemerintah orde baru memangkas retorika ‘revolusioner’ demi seruan yang lebih moderat agar industri pers menjaga keamanan nasional dari ancaman dalam dan luar negeri untuk bertindak dengan kesadaran Pancasila (Sen, K., & Hill, D. T. (2007).

 Demi menjunjung tinggi Pancasila, presiden Soeharto berusaha untuk menghilangkan organ-organ partai atau surat kabar yang kritis, menjinakkan pers pembuat kegaduhan, dan memastikan bahwa para pekerja pihak manajemen pers bertanggung jawab kepada pemerintah  (Sen, K., & Hill, D. T. (2007). Pada tahun 1965, di bulan Februari dan Mei 1965 29 koran dilarang terbit karena mendukung kubu anti Komunis yang bernama Badan Pendukung Soekarno (BPS). Sementara itu, 43 dari 163 surat kabar ditutup tanpa alasan yang jelas pasca kerisuhan Oktober 1965. Para pendukung ‘kiri’ ditendang dari Persatuan Warawan Indonesia (PWI) dan kantor berita Antara. Sederetan peristiwa penangkapan dan pembunuhan sejumlah jurnalis, baik yang komunis sejati maupun sekadar simpatisan dan menjadi pembataian massal yang terjadi di berbagai wilayah pada tahun 1965-1966.

a. Awal Tangan Besi Legislatif

Undang-undang nomor 11 tahun 1966 tentang prinsip dasar pers menyatakan bahwa “Pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan.”. Pada bab 2 pasal 4   “Kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara (pasal 5.1) serta “Penerbitan tidak memerlukan surat izin apapun” (bab 4, pasal 8.2). Namun pada akhirnya itu hanya guyonan belaka, dikarenakan semasa peralihan ini surat kabar wajib memiliki dua izin yang saling terkait. Dua izin tersebut yakni Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer KOPKAMTIB. Mirisnya, tanpa izin kedua departemen ini secara hukum sebuah media niscaya tak mungkin bisa terbit  (Sen, K., & Hill, D. T. (2007).

b. Gelombang Baredel 1970-an

 Pada kurun waktu 1970-an, hubungan antara pemerintah dengan pers diwarnai dengan ketegangan tersembunyi/laten. Diwarnai tradisi ‘pers perjuangan’ dan mengambil gaya bak kampanye, pers di masa itu berdiri bersama masyarakat mengkritisi beragam kebijakan pemerintah. Melihat hal itu tentunya pemerintah tidak bisa diam, pemerintah bereaksi dengan mengeluarkan “tangan besi”.

 Pada bulan Januari 1974, terjadi lautan demonstrasi selama beberapa hari di sejumlah tempat di Jakarta. Unjuk rasa ini berawal dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap sederetan pihak di pemerintah. Adapun nama peristiwa ini dikenal dengan Malari atau Malapetaka 15 Januari. Tentunya hal ini juga memiliki dampak terhadap pers Indonesia, dampaknya sejumlah 12 penerbitan kehilangan SIT dan SIC. Selain itu, sebanyak 470 orang ditahan akibat demonstrasi, termasuk Enggak Bahau’ddin, Moctar Lubis. Mochtar Lubis seorang jurnalis dari Indonesia Raya merupakan salah satu jurnalis yang paling lantang, beliau mengkritik sederetan asisten pribadi Presiden dan sejumlah kepala negara. 

Pahlawan di Pentas Jurnalistik - TOKOH INDONESIA | TokohIndonesia.com |  Tokoh.id

(Mochtar Lubis)

c. Operasi Pencabuan Izin di Periode 1980-an

 Pada kurun waktu 1980-a, sejumlah publikasi satu demi satu dimatikan oleh pemerintah. Contohnya adalah Jurnal Ekuin yang dimatikan oleh pemerintah pada bulan Mei 1983 dikarenakan menuliskan tulisan yang mengungkapkan soal penutunan harga dasar ekspor minyak oleh pemerintah (Sen, K., & Hill, D. T. (2007).

Terbit 54 Tahun Silam, Koran Sinar Harapan Akhirnya Tutup Halaman 1 -  Kompasiana.com

(Surat kabar Sinar Harapan yang sempat dicabut izinnya pada 1987)

d. Beredel Anakronistis di Periode 1990-an

 Berbeda dengan msa sebelumnya, pada era 90an terlihat sebuah harapan bagi Pers di Indonesia. Di masa ini industri pers berkembang pesat sementara kekuatan negara Orde Baru tengah terbaur dan terbuai. Namun, drama pembenturan antara pers dan pemerintah tak bisa hilang begitu saja. Pada 1994, Menteri Penerangan mencabut izin terbit 3 surat kabar yang ternama yakni Tempo, DeTIK, dan majalah Editor. Ketiga penerbitan ini memanfaatkan momen atas keterbukaan politik dan kebebasan pers yang dibuka sejak 1991. Media tersebut mulai berani mengeluarkan berita terkait pelanggaran hak asasi manusia, bisnis keluarga presiden, penyalahgunaan kekuasaan dan pecahnya kelompok sempalan dalam tubuh pemerintah.

 Adu nyali ini terbukti mengusik Presiden Soeharto, akhirnya pada tanggal 9 Juni Soeharto mengungkapkan kegusarannya sepuar izin media. Beliau mengungkapkan bahwa ada sejumlah media yang secara politis bermaksud mengacaukan kestabilan negara dengan mengeluarkan berita provokasi.

e. Lembaga Pemerintahan dan Badan Industri di Masa Orde Baru

                                  i.     Departemen Penerangan dan SIUPP

Pemegang otoritas untuk urusan pers adalah Menteri Penerangan. Daniel Dhakidae yang juga merpakan seorang jurnalis meyakini bahwa pusat dari perwujudan gagasan ideologi dan represi pemerintah berasa dari departemen penerangan. Pada dasarnya, departemen penerangan dibentuk untuk dibentuk guna menyelenggarakan penerangan dengan sarana media seperti mesin ketik, radio dan film, mengelola surat izin terbit (SIUPP). Mengatur pasukan tinta cetak, data statistik dan memantau penerbitan lokal dan asing.Pada 1984, Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Menteri

Penerangan Republik Indonesia tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Media (SIUPP). Peraturan Kementerian Penerangan RI no. 01/PER/MENPEN/1984 tentang SIUPP yang adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri Penerangan kepada usaha penerbitan agar terciptanya media yang sehat, bebas, bertanggung jawab, positif antar media dan pemerintah dan masyarakat berlandaskan kekeluargaan  Anom, E. (2016).

 Namun, kebangkitan SIUPP di era Orde Baru menjadi mimpi buruk bagi jurnalis Indonesia pada era itu, segala bentuk produk pers yang tidak memiliki SIUPP akan dicekal dan dituding sebagai produk ilegal juga subversif. Kemudian, Departemen Penerangan mendapat tugas pokok lagi di tahun 1966, yakni mengarahkan pendapat umum agar masyarakat aktif berperan dalam kebijakan pemerintah. Maka dari itu, tercatat bahwa salah satu menteri penerangan terlama dipegang oleh Harmoko yang berasal dari partai Golkar (Sen, K., & Hill, D. T. (2007).

Harmoko - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(Menteri Penerangan Indonesia masa Orde Baru Harmoko)

 

ii.           Dewan Pers

Meskipun pemerintah sudah memayungi beragam unit administratif dibawah dewan penerangan, namun pemerintah masih merasa harus mengatur pers lewat lembaga perantara yang disebut dengan dewan pers. 

Dewan pers menjadi pihak ketiga yang digynakan oleh pemerintah apabila memiliki kepentingan dengan organisasi pers seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Suratkabar (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP) dan Persatuan Perusahaan Perilanan Indonesia (PPPI) (Sen, K., & Hill, D. T. (2007).

Dewan Pers menjadi pihak pertama yang harus dijumpai oleh Departemen Penerangan apabila ingin mengeluarkan SIUPP terhadap sebuah agensi media. Namun, pada akhirnya dewan pers sendiri diisi oleh orang-orang yang juga berada di bidang pemerintah seperti menteri penerangan, direktur Jendral Pembinaan Pers dan Grafika, Sekretaris Jenral Departemen Penerangan dan lain-lain.

 

iii.         Persatuan Wartawan Indonesia

                                             Berdasarkan Peraturan Menteri Penerangan tahun 1969

(No.02/PER/MENPEN/1969, bab 1 pasal 3) disebutkan bahwa “Jurnalis

Indonesia wajib menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia yang disresmikan oleh pemerintah.” yang dimana dapat kita artikan bahwa komunitas ini menjadi satu-satu komunitas legal oleh pemerintah pada saat itu. Tugas PWI adalah melindungi kaum pekerja dalam sengketa terhadap pemerintah, namun semakin lama tugas ini semakin dikesampingkan demi menyalurkan ekspresi “para kaum profesional” (Sen, K., & Hill, D. T. (2007).

 Semakin lama rasa tidak puas muncul dari anggota PWI yang melihat bahwa tugas dan tujuan dari PWI ini semakin jauh dari dasarnya. Oleh sebab itu pada 1993 dibentuklah Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY). Tentunya gerakan ini dianggap sebagai pertentangan bagi pemerintah sehingga sederetan organisasi yang seperi FDWY dikecam dan diberendel oleh pemerintah. Peristiwa pencabutan sura izin tersebut memicu tumbuhnya sejumlah kelompok pelobi dan komunitas seperti Solidaritas Indonesia ntuk Pembebasan Pers (SIUPP).

 

                               iv.     Pembentukan Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI)

 Pada 7 Agustus 1994, sekitar 60 jurnalis berkumpul dan membentuk Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI). Dianatara 60 jurnalis tersebut beberapa jurnalis terkenal juga bergabung didalamnya seperti Goenawan Mohamd, Fikri Jufri, Eros Djarot, Arief Budiman dan lainlain. Dengan mengeluarkan deklarasi Sirnagalih AJI memperkuat bahwa menolak campur tangan, intimidasi, sensor dan pemberendelan media dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan kebebasan berpendapat untuk memperoleh informasi  (Sen, K., & Hill, D. T. (2007). Meskipun banyak terjadi pertentangan atas berdirinya Aliansi Jurnalisme INdonesia ini dikarenakan pemerintah hanya melegalkan PWI, AJI tetap mempertahankan etentikanya hingga saat ini.

 

f. Bangkitnya Pers di Masa Orde Baru

 Kebijakan dan peraturan pemerintah tak henti-hentinya menggarisbawahi peran pers dalam menjaga Pancasilan dan UUD 1945. Pers didorong untuk bertanggung jawab dalam pengahayan dan pengamalannya dalam masyarakat. Dalam kebangkitan pers pada masa orde baru tentunya mengalami masa yang cukup panjang dan mengikuti campur tangan orangorang yang cukup banyak. Salah satunya adalah peran pers mahasiswa dalam menjunjung hak dan martabat pers Indonesia. Meskipun beberapa kali pers mahasiswa dianggap tidak mengikuti peraturan pemerintah dan kebijakan universitas, namun pada akhirnya pers mahasiswa mampu berdiri dengan mengikuti pola dan garis poitik dari pemerintah. Pers Mahasiswa mempraktikkan logika bisnis dan memainkan keterampilan jurnalistik mereka dalam tata isi dan letak tulisan mereka. Salah satu contoh bentuk pers mahasiswa adalah  Salemba dari UI, Gelora Mahasiswa dari UGM, dan Kampus dari ITB (Allifiansyah, S. (2015).

 Selain itu, pada era 90an terjadilah deregulasi ekonomi secara berkesinambungan dan diikuti dengan desakan memperjuangkan keterbukaan politik. Meliha hal itu, pers semakin menyuarakan suaranya terhadap permasalahan politik. Perlahan, topik yang semula dianggap haram dan ilegal

(isu militer dan sipil) kini kembali bisa dianalisa dan dipublikasi oleh pers. Eros Djarot sebagai redaktur mingguan DeTIK sering menerima surat peringatan yang dilayangkan pada isi tulisannya, namun beliau justru menghiraukan surat peringatan tersebut. Perlahan, redaktur lainnya juga memiliki pemikiran yang sama bahwa pers harus bisa membuka keterbukaan terhadap politik.

 Selain dampak ekonomi yang membuyarkan pandangan pemerintah terhadap pers, munculnya internet juga menjadi angin segar bagi pers Indonesia. Pemerintah terlalu fokus untuk mengecek surat kabar dan media cetak namun melupakan berita yang sudah dimuat di internet. Salah satu contohnya adalah surat kabar Apa Kabar yang ditulis oleh John McDougall dan di muat di internet pada saat itu yang berisi mengenai kejamnya rezim orde baru (Allifiansyah, S. (2015)).

 Sementara Undang-Undang Dasar sendiri menjamin kebebasan berpendapat, Undang Undang Pers secara sejalan juga menegaskan bahwa pers tidak dapat disensor atau dikendalikan serta kebebasan pers diyakini sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara.

             

D. Masa Reformasi sampai 2020

 Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno dalam Orde Lama dan Presiden Soeharto dalam Orde Baru kebebasan pers di Indonesia masih banyak mengalami keterbatasan, terlebih karena kepentingan pemerintah pada saat itu. (Akhmad Efendi: 2010) menjelaskan, jika pada masa Orde Lama dan Orde Baru tersebut kebebasan pers sudah ada, tetapi hanya sebatas untuk memperkuat status quo, dan berbagai keterbatasan lain seperti tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, dan lain  sebagainya. 

Kebebasan pers ini akhirnya lahir setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 lalu, dan kebijakan mengenai pencabutan SIUPP dikeluarkan pada UU No 40 Tahun 1999. UU No. 40 Tahun 1999 tersebut membahas tentang kemerdekaan pers yang menjadi unsur penting bagi  kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis  (Allifiansyah, S. (2015). Lahirnya Undang-Undang tersebut sebagai upaya hukum untuk melindungi kepentingan profesi jurnalistik serta membuat pemerintah untuk tidak memberlakukan SIUPP kembali, Undang-Undang ini terbit ketika Presiden Habibie melalui Menpen Yunus Yosfiah. Kebebasan tersebut lahir setelah rakyat menginginkan adanya sebuah reformasi di segala bidang. Kebebasan pers pada massa tersebut menjadi sebuah angin segar bagi masyarakat karena sebuah kebebasan tersebut mampu mengisi kekosongan celah-celah antara publik dan penguasa atau pemerintah pada masa itu. Pers hadir berperan sebagai pemasok dan pemberi informasi, yang pada akhirnya akan menjadi referensi utama bagi rakyat untuk sebuah sikap dan opini publik.

a.     Lahirnya Media Alternatif

Era setelah orde baru, atau dalam hal ini berarti era reformasi yang dimulai setelah tahun 1998 terdapat sebuah perubahan yang luar biasa dalam pers Indonesia, terlebih perubahan dalam hal kebebasan pers. Kebebasan pers ini menjadi sesuatu hal yang sangat penting dalam masyarakat yang demokratis, karena sebagai sebuah proses perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Selain itu, dengan munculnya media alternatif perlahan-lahan suara minoritas Indonesia semakin terdengar. Media alternatif berisi suara-suara kaum minoritas, terpinggirkan dan ekspresi masyarakat Indonesia dari belahan sudut pandang  (Allifiansyah, S. (2015). Dengan berkembangnya zaman, akses untuk berkomunikasi bagi masyarakat juga semakin dibutuhkan, oleh sebab itu perlahan-lahan masyarakat semakin melek matanya dalam penggunaan  media massa seperti radio, televisi, koran dan internet.

 Kebebasan pers juga menjadi sebuah tanggung jawab sosial, karena diharapkan dengan adanya kebebasan pers ini, publik mendapatkan informasi yang benar dan akurat, serta yang lebih penting bukan hanya benar menurut media, lalu setelah itu pers akan menjadi sebuah pemberi kabar berita yang objektif agar tidak terjadi ketimpangan dan perbedaan informasi diantara pemerintah dan masyarakat (Allifiansyah, S. (2015).

 

b.     Pers di Era Modern 

 Setelah memasuki masa reformasi, lahir berbagai macam media baru sebagai bentuk atas kebebasan pers di Indonesia ini. Berbagai macam media baru ini juga sebagai bentuk perwujudan untuk dapat menyampaikan informasi secara luas kepada masyarakat. (Sandy Alifiansyah: 2015) menambahkan, jika ketika masa sebelum reformasi, media cetak dan televisi sangat mendominasi referensi masyarakat, sehingga proses interaksi masih sangat rendah, lalu memasuki masa reformasi dan informasi, model media alternatif ternyata telah berubah wujud dan paradigmanya, dari yang sebelumnya activist oriented menjadi custom oriented. Internet menjadi sesuatu hal yang penting dalam media alternatif ini, dimana ketika masa reformasi ini internet bereperan penting untuk semakin mewujudkan kebebasan pers di Indonesia, dimana muncul banyak media online, terlebih media online tersebut dapat menarik perhatian besar dari masyarakat untuk beralih dari media cetak ke media online. Pada masa reformasi di Indonesia ini juga masih menggunakan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 untuk mengatur kebebasan pers.

             

c.     Tantangan dan Contoh Kasus

 Kebebasan pers di Indonesia sampai saat ini masih berhadapan dengan berbagai tantangan di dalamnya. Salah satu tantangan terbesar dalam masa reformasi ini adalah masih adanya campur tangan atau pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah, (Mawa Kresna: 2016) dalam tirto.id menyebutkan selama tahun 2013-2016 masih terdapat beberapa kasus pembungkaman pers, terlebih terhadap pers mahasiswa. Pada tahun 2014 terdapat kasus penarikan buetin EXPEDISI edisi ospek di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Negeri Yogyakarta, penarikan tersebut karena kritik terhadap ospek. Lalu pada tahun 2015 LPM Lentera Universitas Kristen Satya Wacana juga mengalami penarikan majalah oleh  rektorat dan polisi terkait isi majalah, dan juga LPM Poros Universitas Ahamd Dahlan Yogyakarta dan LPM Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa juga dibrendel oleh pihak rektorat. Peristiwa ini cukup memprihatinkan karena masih terdapat pembatasan-pembatasan terhadap pers, terlebih bagi Lembaga Pers Mahasiswa dimana seharusnya mereka masih belajar dan berkembang, tetapi justru terdapat pembatasan, sehingga tidak mewujudkan kebebasan pers masa reformasi ini.

 Kebebasan yang didapatkan pers di Indonesia saat ini juga memiliki pengaruh buruk bagi masyarakat luas sebagai penikmat dari pers tersebut. Pers Indonesia masih dinilai memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis, ketika mereka memiliki kebebasan untuk memberikan berbagai informasi, seiring berjalannya waktu kebebasan pers yang berkaitan erat dengan industri media ini juga akhirnya memberikan dampak negatif, seperti ketika mereka menggunakan cara apapun untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Adanya kebebasan pers ini juga diharapkan menjadi sarana pendidikan yang membentuk karakter bangsa yang bermoral bagi masyarakat luas yang menikmati berbagai media didalamnya tersebut, tetapi demi keuntungan atau berbagai kepentingan lain tersebut pers sering kali memberikan berita-berita yang provokatif, sensasional, atau juga mengumbar kecabulan. Hal ini jelas melanggar UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 3 yang membahas tentang Pers Nasional yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abar, A. Z. (1995). Kisah Pers Indonesia, 1966-1974. LKiS.

Anom, E. (2016). Pemerintah, media dan masyarakat di Indonesia. Penerbit Andi. 

Allifiansyah, S. (2015). Media Alternatif di Indonesia (Napak Tilas dan Pencarian Arah di

Masa Depan). Jurnal Scholar, 1-13.

Dewanpers.or.id. 2022. Dewan Pers. [online] Tersedia di: <https://dewanpers.or.id/> [Diakses pada  23 Maret 2022].

Efendi, A. (2020). Perkembangan Pers di Indonesia. Alprin.

Kresna, M. (2016). Membredel Pers Mahasiswa. Diakses pada tanggal 24 Maret 2022 melalui https://tirto.id/membredel-pers-mahasiswa-b5ka  

Sen, K., & Hill, D. T. (2007). Media, culture and politics in Indonesia. Equinox Publishing.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBIJAKAN HUKUM DAN REGULASI DI BIDANG KOMUNIKASI KONVERGENSI